Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya” (Al-Qur’an Surah Al–Ahzaab [33]: ayat 33)
Ath-Thabari di dalam Tafsirnya Jami’ul Bayan, Cetakan Daar Al-Ma’rifah, Beirut, Jilid 22, halaman 5 menjelaskan sbb :
“Perkataan pertama yang kita jumpai pada ayat tersebut (menurut teks
aslinya dalam bahasa Arab) ialah “hanya” (innama). Perkataan “hanya”
atau innama di dalam tata bahasa Arab disebut “harf hasr” untuk
menunjukkan arti : menguatkan makna kalimat sesudahnya dan menafikan
(meniadakan) apa yang selain itu.
Jadi, makna perkataan innama dalam ayat ini ialah ; menetapkan dan
menegaskan bahwa masalah pensucian Ahlul Bait merupakan sesuatu yang
telah ditetapkan (itsbat) dan menafikan adanya kehendak Allah untuk
memberikan pensucian bagi orang-orang selain Ahlul Bait.
Bagi orang yang mengenal bahasa Arab dengan baik, mengenal
dasar-dasar kaidahnya dan mengenal cara orang yang menggunakan
bahasanya, pengertian ayat tersebut di atas cukup jelas dan tidak
meragukan.
Kemudian kita jumpai kalimat berikutnya, yaitu Allah menghendaki
(Yuridu Allahu). Dalam hal ini jelas, bahwa yang berkehendak ialah
Allah SWT kehendak Allah tersebut bersifat takwiniyah (penciptaan),
bukan kehendak yang bersifat tasyri’iyyah (penetapan).
Sebagaimana diketahui, kehendak Allah SWT menurut ilmu Tauhid terbagi
dalam dua sifat, ada yang bersifat takwiniyyah dan ada kehendak yang
bersifat tasyri’iyyah. Kehendak takwiniyyah ialah kehendak lain, tidak
tertinggal dan tidak ada sesuatu yang menghambat atau menghalangi.
Mengenai hal itu Allah SWT berfirman “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila
Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya : “jadilah, maka
jadilah ia” (QS : Ya sin : 82)
Adapun kehendak tasyri’iyyah ialah kehendak yang realisasinya
diserahkan oleh Allah SWt kepada kemauan bebas dan pilihan Allah supaya
hamba-hamba-Nya. Misalnya saja seperti kewajiban yang dikehendaki ada
manusia yang setia melaksanakan dan ada pula yang membangkang atau
ingkar.
Dalam kaitannya dengan ayat suci tersebut di atas (S. Al Ahzab :
33), tidaklah diragukan lagi, bahwa kehendak Allah mengenai pensucian
Ahlul Bait, bukanlah kehendak tasyri’iyyah. Sebab kalau dalam hal itu
kehendak-Nya bersifat tasyri’iyyah, maka pembatasan (al-hasr) dengan
perkataan “inama” akan kehilangan makna, sebab pada dasarnya Allah juga
menghendaki pensucian semua hamba-Nya, tanpa pengecualian, hal ini
diisyaratkan dalam firman-nya dalam S. Al Maidah : 6, “Allah tidak
hendak menyulitkan kalian dan menyempurnakan nikmat karunia-Nya kepada
kalian, agar kalian senantiasa bersyukur.
Dengan demikian jelaslah, bahwa kehendak Allah mengenai pensucian
Ahlul Bait dalam ayat tathir (Al – Ahzab : 33), bersifat takwiniyyah,
yang realisasinya tidak tertunda atau terselingi oleh apapun juga.
Kalimat selanjutnya dalam ayat tathir itu adalah “menghapuskan noda
kotoran (al-rijs) dari kalian”. Menurut Al Raghib, perkataan al-rijs
berarti segala sesuatu yang kotor. Al-Thabariy dalam tafsirnya mengenai
ayat tersebut menguraikan sebagai berikut : “Bahwasanya Allah SWT hanya
hendak meniadakan keburukan dan kekejian dari kalian, hai para anggota
Ahlul Bait Muhamad, dan hendak mensucikan kalian dari noda kotoran
sesuci-sucinya, yaitu noda kotoran yang ada pada orang-orang yang
berbuat durhaka kepada Allah, dst.
Dalam menafsirkan ayat tersebut An Nisaburiy mengatakan, “Allah menggunakan perkataan al-rijs untuk menyebut dosa-dosa”.
Jadi kesucian pada Ahlul Bait sudah menjadi kehendak Allah. Tidak
ada sesuatu yang dapat menolak kehendak-Nya untuk meniadakan dosa,
noda, kotoran dan kedurhakaan dari Nabi dan Rasul-Nya dan para Ahlul
Baitnya.
Dalam batas pengertian seperti yang kami utarakan tersebut di atas,
tidak ada alasan untuk berselisih pendapat atau meragukan arti ayat
suci tersebut. (Muhammad Ridla Ar-Radlawi, Membina kerukunan Muslimin
hlm. 187-189, Penerbit Pustaka).
0 Comment:
Posting Komentar